Jakarta , Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyoroti kurangnya jumlah dokter onkologi sebagai hambatan besar dalam penanganan kanker di Indonesia, baik untuk anak-anak maupun dewasa. Menkes menyebut, keterbatasan ini berdampak pada distribusi alat kesehatan yang tidak optimal di rumah sakit daerah karena minimnya tenaga spesialis yang dapat mengoperasikannya.
“Persoalan terbesar dalam penanganan kanker di Indonesia adalah dokternya, kita tidak punya dokter onkologi yang cukup,” ujar Menkes. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah telah meluncurkan program fellowship guna mempercepat pelatihan dokter spesialis, termasuk dokter penyakit dalam agar dapat melakukan kemoterapi.
Langkah ini diiringi kerja sama dengan beberapa negara, seperti Tiongkok, India, Jepang, dan Korea. Setiap tahunnya, 100 dokter akan dikirim untuk menjalani program fellowship dengan durasi pelatihan antara 6 hingga 24 bulan. "Karena kita mau mempercepat program fellowship, sehingga dokter spesialis penyakit dalam bisa melakukan kemoterapi," jelas Menkes.
Pemerintah mengambil kebijakan ini mengingat keterbatasan kapasitas pendidikan di dalam negeri untuk program serupa. Dukungan dari kolegium sangat dibutuhkan untuk menyukseskan upaya peningkatan jumlah dokter spesialis di Indonesia. Tanpa hal ini, program fellowship dan langkah pemerintah untuk menyediakan tenaga medis berkualitas akan sulit terealisasi.
“Bagi sebagian kelompok, upaya ini tidak populer, tapi kita harus ingat 234 ribu orang meninggal setiap tahunnya,” kata Menkes, menekankan pentingnya langkah ini untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa dari bahaya kanker.