Badung - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Pemerintah Kabupaten Badung dan sejumlah institusi lainnya sedang mengkaji tradisi Tari Baris Kekuwung untuk diusulkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia. “Ini menegaskan jika karya budaya tersebut adalah asli milik Indonesia. Selain itu, pengusulan dilakukan agar tidak mudah diklaim oleh negara lain,” ujar Peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban BRIN, I Wayan Rupa. Tradisi ini berasal dari Desa Adat Sandakan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali, dan berakar dari masa kekeringan panjang di masa lalu.
Kajian melibatkan Forum Group Discussion (FGD) dengan warga Desa Adat Sandakan untuk menggali lebih dalam sejarah dan makna tradisi tersebut. Menurut Rupa, Tari Baris Kekuwung tidak hanya sekadar kesenian, tetapi juga sarat simbol-simbol keagamaan dan nilai-nilai kearifan lokal. “Tari tersebut tercipta dari latar belakang cerita masa lalu di Desa Adat Sandakan yang mengalami kekeringan,” jelasnya. Upacara Mapag Toya, yang terkait erat dengan tarian ini, dilakukan sebagai wujud syukur setelah air berhasil dialirkan melalui terowongan yang dibangun dengan penuh perjuangan oleh masyarakat.
Kajian ini memberikan wawasan ilmiah tentang tradisi lisan Nusantara melalui pendekatan filosofis, historis, dan sosiologis. Ketua Tim Kajian, Ida Bagus Rai Putra, menegaskan bahwa tradisi ini mencerminkan kekuatan, keyakinan, dan ketulusan masyarakat dalam menjalani ritualnya. “Secara praktis, kajian ini memberikan manfaat nyata berupa pengembangan khasanah warisan budaya tak benda. Hasil kajian ini dapat membuka cakrawala pembaca dan masyarakat, sehingga makna yang terdapat dalam tradisi ini dapat dijadikan pedoman untuk bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari,” ungkapnya.
Sejarah tradisi ini bermula ketika masyarakat Desa Sandakan berusaha mengatasi kekeringan dengan menggali aungan (terowongan air). Setelah melakukan upacara Pinunas Ica (permohonan jalan kemudahan), terowongan berhasil dibuat, dan air mengalir ke desa. Dalam upacara Mapag Toya, tarian ini diciptakan sebagai pengganti persembahan kerbau bertanduk emas yang sulit didapat. Tarian menggunakan perhiasan unik berupa sate kekuwung sebagai tanduk dan urutan babi sebagai kalung, yang menjadi ciri khas hingga kini.
Anggota tim kajian, I Gusti Ayu Armini, menambahkan bahwa upacara Mapag Toya biasanya dilakukan setiap enam bulan, sesuai kalender Bali, dan bertepatan dengan usaba di Pura Subak Sandakan. “Upacara Mapag Toya dilakukan minimal satu kali dalam rentang waktu enam bulan. Menurut kalender Bali, upacara Mapag Toya jatuh pada hari pasaran kajeng umanis yang merupakan perpaduan pasaran ketiga dan pasaran pertama. Mapag Toya juga bertepatan dengan upacara usaba di Pura Ulunsuwi atau Pura Subak Sandakan,” ujarnya. Kajian ini diharapkan dapat memperkuat identitas budaya Bali dan mendukung pengusulan tradisi Tari Baris Kekuwung ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dunia.